SAMPANG, NUsampang.com Lembaga Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama (LBM NU) kolaborasi dengan Lembaga Ta’lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTN NU) Pulau Mandangin, Kecamatan Sampang, Kabupaten Sampang menggelar kajian tematik tentang hakikat santri dan tudingan neo feodalisme.

Kegiatan tersebut dilaksanakan sebagai rangkaian memperingati Hari Santri Nasional (HSN) Tahun 2025.

Pada kesempatan itu hadir dua pemantik sebagai pengisi materi kajian, yakni ustad Ahmad selaku Katib ranting NU Mandangin Timur, pemantik dua yakni ustad M Suid sebagai Wakil Ketua ranting NU Mandangin Timur.

Kegiatan itu juga dihadiri segenap pengurus MWCNU, Ansor, dan lembaga serta banom NU mandangin yang berlangsung di halaman MTs Miftahul Ulum Barat.

Ustad Ahmad selaku pemantik diskusi kajian itu menganggap, ditinjau dari tindak langkahnya, santri seseorang yang berpegang teguh terhadap tali Allah yang kuat (Al-Qur’an) dan mengikuti Sunnah Rasulullah SAW, dan tidak mudah condong ke kanan dan tidak ke kiri (selalu konsisten).

“Satlogi santri, S itu Sopan, A itu Ajeg (Istiqomah), N itu Nasehat, T itu Taqwa, R itu ridho Allah, dan I itu bermakna Ikhlas,” terangnya.

Menururnya, tunduk patuh pada guru bagian dari akhlak, sementara tudingan feodalisme harus ditolak dengan lantang. Sebab kata Ahmad, pepatah arab menyatakan bahwa (manusia musuhnya sesuatu yang tidak ia ketahui).

“Jadi bisa diakui kalau pesantren ini adalah benteng moral bangsa,” tegasnya.

Diwaktu yang sama, pemantik dua sekaligus wakil ketua ranting NU mandangin timur, ustad M Suid menilai tradisi pesantren merupakan sub kultur yang unik.

Kata dia, outsider tidak akan bisa memahami apa yang ada di insider kalau tidak merasakannya sendiri. Sebab itu, lanjut dia outsider tidak boleh memaksa insider, merubah tradisi yang menjadi konsensus tiap-tiap pesantren.

“Sebaliknya insider tak perlu memaksakan outsider mengerti atau mengikuti apa yang dilakukan oleh insider,” ucapnya.

Ia menilai, bahwa tradisi pesantren masih relevan di hari ini ntuk kalangan insider. Sedangkan, untuk kalangan outsider yang tidak relevan itu hanyalah hak.

“Ta’dzim atau taat kepada guru meski tak perlu dipikir secara rasional tapi tetap dibatasi oleh syari’at, yaitu tidak boleh membungkuk sampai batas rukuk, apalagi batas sujud karena itu diharamkan syariat. Tapi praktek cium tangan, membungkuk dan ta’dzim sudah ada sejak masa Nabi Muhammad,” paparnya.

Sementara itu, Rois Syuriah MWCNU Mandangin, H Muhajir Zubairi mengatakan pemuda-pemudi NU Mandangin adalah generasi yang akan melanjutkan ke-NU-an ke depan.

“Tetap menjaga tradisi pesantren, yaitu ta’dzim dan taat pada guru,” kata Muhajir.

Menurut Muhajir, mutaallim dan mu’allim masih boleh berbeda pendapat, tapi tidak dengan murid dan mursyid, maka haram hukumnya berbeda pendapat.

“Jangan sembarang masuk toriqot, terus genjot semangat diskusi, karena pemuda bergantung pada i’tiqadnya, barang siapa tak memiliki keyakinan maka ia tidak akan bermanfaat apa-apa,” pungkas Muhajir.