Oleh: Faisol Ramdhoni *
nusampang.com – Adalah KH Hasyim Wahid yang menulis dalam bukunya yang berjudul “Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia” bahwa setiap pergerakan isu, wacana, kampanye dan pergerakan yang terjadi di Indonesia tidak pernah lepas dari konstalasi dunia (Global). , sebagian besar peristiwa dan sejarah di tanah air yang dicampurtangani bahkan dibikin atau direkayasa oleh Imprealisme / Kapitalisme Global. Mulai Drama Politik PKI, keruntuhan Orde Lama dan naiknya Orde Baru, Peristiwa Malari, Berbagai Pemberontakan Sparatis Di Tanah Air, Infasi, Dan Penyerbuan Ke Timor -Timor, Tumbangnya Soeharto (Orde Baru), Euphoria Reformasi dan Masih Banyak Lagi, Kesemuanya pasti terkait erat dengan peristiwa global yang terjadi. Adik Kandung K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meminta bantuan untuk mendiagnosis dan terapi atas yang dilakukan di Indonesia tanpa melihat Konstelasi Global, niscaya akan memerlukan kegagalan.
Tesis di atas, cukup menarik untuk dijadikan referensi dalam menghampiri sejumlah wacana dan pergerakan yang belakangan ini kuat dimainkan oleh sejumlah kelompok Islam di Indonesia. Dari pelbagai isu yang berkembang, ada 2 (dua) isu yang penulis nilai cukup massif diletupkan yakni Isu Komunisme dan Isu Muslim Uighur. Bila ditarik lebih jauh lagi, maka kedua isu ini akan berujung pada sentimen anti China.
Menariknya lagi, kedua isu tersebut sangat kencang dihembuskan bersamaan dengan dimulainya sengketa perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China. Banyak pengamat menilai bahwa perang dagang AS-China ini dimulai ketika pada januari 2018 , Pemerintahan Donald Trump mulai memberlakukan tarif impor produk dari China hingga senilai US$ 34 miliar. Sejak saat itulah, tensi hubungan dua raksasa ekonomi dunia ini mulai mendidih. Aksi saling mebalas kebijakan di bidang industri dan perdagangan pun terjadi.
Sejak saat itu pula, di Indonesia mulai menggelinding isu Komunisme dan Isu Anti PKI. Apalagi di medio 2018-2019 boleh dibilang Indonesia sedang memasuki tahun tahun politik. Praktis, Isu Komunisme dan Anti PKI menemukan momentumnya. Kabar hoaks terkait kebangkitan dan kegiatan komunisme bertebaran di media soial. Isu ini dimainkan dan digerakkan oleh kelompok oposisi dan kelompok Islam garis keras. Dimana kedua kelompok ini sangat berhasrat untuk menumbangkan Jokowi di Pilpres 2019.
Semakin memasuki perhelatan Pilpres, isu Komunisme semakin kencang ditiupkan. Berbagai model akrobat politik dan aksi digerakkan untuk melancarkan serangan pada lawan politik dengan isu Komunis. Bahkan sudah mulai menjurus pada Anti Cina. Mulai dari sweeping buku komunis, imigran gelap cina hingga tuduhan Jokowi sebagai keturuan Cina.
Bersamaan dengan itu, turut berkembanglah isu penindasan Muslim Uighur oleh Pemerintahan Cina. Hal ini bermula Pada Agustus 2018, sebuah komite PBB mempublikasi sebuah laporan bahwa hingga satu juta warga Uighur dan kelompok Muslim lainnya ditahan di wilayah Xinjiang barat, dan di sana mereka menjalani apa yang disebut program ‘reedukasi, atau ‘pendidikan ulang’.
Lontaran wacana ini kemudian direspon dan dikemas oleh sejumlah kelompok Islam di Inonesia sebagai bentuk kebencian Cina sebagai negara komunis ke umat Islam. Sehingga penciptaan sentimen anti China semakin menguat di sebagian masyarakat muslim di Indonesia.
Padahal, dari berbagai sumber menyebutkan ada 2 komunitas muslim di China yakni Muslim Uighur dan Muslim Hui. Muslim Uighur rupanya punya sejarah panjang soal separatisme sejak tahun 1960 yang dimotori beberapa kelompok, seperti East Turkistan Islamic Movement (ETIM) dan yang terakhir Turkistan Islamic Party (TIP). Uighur juga dimanipulasi kelompok teror seperti Al Qaeda sampai ISIS yang membuat urusan separatisme Uighur ini makin keruh. Sementara China sangat keras terhadap ada gerakan semacam itu.
Sementara, Muslim Hui tidak pernah minta merdeka. Dalam kerusuhan Xinjiang tahun 2009 etnis muslim Hui tidak mau menjadi bagian dari konflik. Muslim Hui berbagi sejarah romantis dengan etnis Han. Secara fisik sama-sama sipit, sementara Uighur agak bule. Muslim Hui punya Laksamana Cheng Ho yang diakui sebagai pahlawan China.
Jadi benar menurut Fitraya Ramadhanny,Redaktur Pelaksana detikINET, yang mengatakan bahwa apa yang terjadi di Uighur sebenarnya bukan soal agama Islam. Akar masalah Muslim Uighur adalah soal separatism dan konflik identitas. Permasalahan Uighur bukan perkara 1-2 tahun atau sejak kerusuhan 2009, melainkan sudah mulai sejak tahun 60 SM, seumur Jalur Sutra (Sumber: detik.com/29/12/2019).
Pendapat yang sama juga di sampaikan oleh K.H Marzuki Mustamar, Ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur yang menilai, bahwa isu kekerasan terhadap warga muslim di Uighur, Provinsi Xinjiang, tak lepas dari isu perang dagang antara Amerika dengan China. Sehingga, ia meminta muslim Indonesia tidak terlalu termakan dengan Isu kekerasan di Uighur (sumber: merdeka.com/26/12/2018)
Perlu diketahui juga, Xinjiang tempat Muslim Uighur berada, alamnya berupa gunung batu dan gunung pasir. Tapi di bawah tanahnya ada salah satu cadangan gas terbesar di China. Kalau Xinjiang merdeka, yang untung adalah Kazakhstan dan Rusia. Turki ikut untung karena kalau Xinjiang merdeka, namanya akan menjadi East Turkistan, sudah jelas dia akan berpatron ke mana. Belum lagi, Amerika dan sekutunya juga akan selalu mengangkat isu Uighur secara reguler. Di tengah perang dagang AS-China, Uighur menjadi titik lemah Beijing.
Membaca ragam kepentingan di atas, maka wajar jika kemudian Isu Penindasan Muslim Uighur sangatlah seksi untuk dimainkan. Para pihak yang berkepentingan akan selalu mendorong dan menggoreng Isu muslim Uighur dengan berbagai cara. Salah satunya dengan jalan memproduksi aksi-aksi bela Muslim Uighur yang dilakukan oleh kelompok Islam. Termasuk di dalamnya, kelompok-kelompok Islam garis keras yang ada di Indonesia.
Dengan demikian, secara keseluruhan dapat dibahas tentang topik yang terkait Komunisme hingga Isu Kekerasan Muslim Uighur merupakan skenario yang digunakan oleh pihak tertentu dalam kaitannya dengan konstelasi global. Baik itu perebutan pengaruh ekonomi atau perebutan sumber daya alam. Untuk menganggap, jangan terlalu lugu, lihat kasus Uighur. Alih alih menjadi pembela, bisa tanpa disadari malah menjadi Amerika! Aalagi jika hari ini lantang bersuara bela Uighur, kemudian berangkat menawarkan khilafah, itu disebut memboncengi penderitaan muslim Uighur, kurang etis !. (*)
* Penulis adalah Ketua Lakpesdam PCNU Sampang